RSS

Metode Konstektual dan Tekstual

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa kita yang modern ini keluasan ilmu pengetahuan mulai bertambah luas dan semakin beraneka ragam topiknya, hal itu dikarenakan kelebihan metode-metode yang diciptakan oleh manusia dalam menyingkap realitas-realitas melalui observasi, analisa, komparasi, penggunaan teleskop, mikroskop, alat-alat eksperimen dan keberanian melakukan eksperimen sehingga hal itu memungkinkan sampai pada teori-teori, hukum-hukum, ilmu-ilmu pengetahuan dan spesialisasi-spesialisasi yang sebelumnya belum pernah dijumpai didalam pengetahuan-pengetahuan ilmuwan-ilmuwan dan analisis yang mendahuluinya. Contohnya saja al-Qur’an yang mampu mengumpulkan gudang-gudang ilmu yang bermanfaat disamping ia sebagai undang-undang dasar yang menunjukkan kepada jalan yang lurus dan bahwasanya mengikuti al-Qur’an secara tekstual dan spiritual adalah sarana praktis yang menghantarkan kepada dunia dan akhirat.
 Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Qur’an sudah mengalami begitu banyak tafsir dari para ulama sehingga menimbulkan keragamanan pandangan atas teks-teks yang tersurat dalam Al-Qur’an. Karenanya, untuk memahami sejumlah tafsir tersebut secara baik dan komprehensif, diperlukan metodologi studi Al-Qur’an, yakni ilmu untuk menelusuri kebenaran dengan cara tertentu, dengan memegang prinsip keteraturan, sebab-sebab, dan pengalaman yang bisa diamati [empirisme].
Berlanjut pada perbedaan penafsiran Al-Qur’an. Yang satu hendak menghampirinya secara harafiah-tekstual, sementara yang lain mendekatinya secara siyaqiyah-kontekstual. Dalam kaitan itu, lalu disusun sejumlah metodologi pembacaan dan penafsiran teks Al-Qur’an. Kelompok tekstual berpendapat bahwa semakin harfiah seseorang di dalam menafsirkan, maka semakin dekat dia pada kebenaran. Ini menurut kelompok tekstualis, karena Al-Qur’an sebagai firman Allah berupa huruf dan aksara. Sedangkan menurut kelompok kontekstualis, karena Al-Qur’an turun dalam konteks yang spesifik maka peran sabab al-nuzul adalah mutlak. Semakin seseorang faham pada konteks yang menyertai kehadiran Al-Qur’an, maka dia semakin dekat pada kebenaran. Yang dilupakan dari dua kelompok ini adalah dimana posisi maqashid al-syari`ah (nilai-nilai etis Al-Qur’an) yang mendasari seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, jika Al-Qur’an diposisikan hanya sebagai deretan huruf atau gugusan konteks partikularnya. Dalam kaitan itu, dibutuhkan sebuah kerangka metodologi yang bisa merawat maqashid al-syari`ah tersebut.
Embrio munculnya tafsir yang berorientasi tekstual dan kontekstual, sebenarnya telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Kasus-kasus ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, misalnya Umar bin Khattab, dapat dijumpai dan terutama ia menimbulkan kesan perdebatan. Perdebatan terjadi antara kelompok yang berorientasi pada makna harfiah teks dengan yang berorientasi pada makna kontekstual teks. Dua orientasi tafsir yang berkembang dalam sejarah studi Al-Qur’an bertolak pada pendekatan yang digunakan masing-masing tafsir. Yang dimaksud pendekatan di sini adalah titik pijak keberangkatan dalam proses penafsiran. Titik pijak ini menentukan corak tafsir. Titik pijak yang berbeda akan melahirkan corak tafsir yang berbeda. Tetapi, titik pijak yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda, yakni tafsir tekstual dan tafsir kontekstual.
Oleh karena itu, sebagaimana latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dalam makalah ini kami akan membahas tentang bab Pendekatan Metode yang Tekstual dan Kontekstul  sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman kami.

1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat kami ambil dari latar belakang tersebut adalah sebagai berikut :
1.   Bagaimana otoritas teks Al-Qur’an ?
2.   Bagaimana metode studi Al-Qur’an yang tekstual ?
3.   Bagaimana metode studi Al-Qur’an yang kontekstual ?

1.3                             Tujuan
Mengenai tujuan dari pembuatan makalah ini sesuai dengan rumusan masalah di atas adalah :
1.   Untuk mengetahui otoritas teks Al-Qur’an
2.   Untuk mengetahui metode studi Al-Qur’an yang tekstual
3.  Untuk mengetahui metode studi Al-Qur’an yang kontekstual

BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Otoritas Teks Al-Qur’an
Berkaitan dengan otoritas Al-Qur’an, perlu dibedakan bahwasannya otoritas disusupkan kepada teks oleh akal pikiran manusia dan bukan muncul dari teks itu sendiri.[1] Sehingga upaya pembebasan dari kekuasaan teks sebenarnya berarti pembebasan dari otoritas mutlak dan hegemoni yang mempraktikkan pemaksaan dan penguasaan dengan menyelipkan indikasi-indikasi dan makna-makna di luar masa ruang dan kondisi ke dalam teks. Paparan ini merupakan ajaran untuk memahami, menganalisis dan melakukan interpretasi berdasarkan analisis bahasa terhadap teks tersebut dalam kompleksitas konteksnya, yang pada gilirannya melahirkan kontekstualitas makna teks.[2]
Dapat pula dijelaskan bahwa sesungguhnya yang mengelurkan makna dari teks, bukan teks semata-mata, akan tetapi proses dialektika dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari hubungan antara teks dengan kebudayaan sebagai hubungan dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain saling mengkombinasikan ketika memunculkan ideologi dalam kebudayaan kontemporer tentang teks. Akal pikiran manusialah dalam konteks pemaknaan ini yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks tidaklah berbicara,[3] sehingga otoritas ini dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.
Dalam hal otoritas teks, Nasr Hamid Abu Zaid salah seorang cendekiawan Mesir yang kontroversial, berpendapat bahwa pada dasarnya teks tidak memiliki wewenang, kuasa atau otoritas apapun selain otoritas epistemologis. Yakni otoritas yang diupayakan sebuah teks dalam posisinya sebagai teks untuk dimanifestasikan dalam wilayah epistemologis tertentu.[4]
Nasr Abu Zaid, seperti juga umat Islam dan para intelektual Muslim pada umumnya mengasumsikan adanya teks primer dan teks sekunder. Teks primer (al-nass al-asli) dalam bingkai warisan tradisi atau warisan intelektual Islam adalah “al-Quran al-Karim”, yaitu suatu teks yang menampilkan realitas pertama dalam suatu runtutan teks yang muncul dan ada di sekitarnya. Sedangkan teks-teks sekunder (al-nass al-sanawi) berasal dari teks-teks kedua, yakni “al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Syarifah”, yang sebenarnya merupakan pengurai (syarh) dan penjelas (al-bayan)dari teks primer.[5]

2.2  Metode Studi Al-Qur’an yang Tekstual
Secara etimologis, tekstual berasal dari kata benda bahasa Inggeris “text”, yang berarti isi, bunyi, dan gambar-gambar dalam sebuah buku (Echols & Shadily, 1989:584). Secara terminologis, pemahaman tekstual adalah pemahaman yang berorientasi pada teks dalam dirinya (Gusmian, 2003:248). Oleh karena itu, lewat pendekatan ini, wahyu dipahami melalui pendekatan kebahasaan, tanpa melihat latar sosio-historis, kapan dan di mana wahyu itu diturunkan.
Sepanjang sejarah perkembangannya, pendekatan tafsir dapat dikategorikan pada dua model pendekatan, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual.  Pendekatan tekstual adalah sebuah pendekatan studi Al-Qur’an yang menjadikan lafal-lafal Al-Qur’an sebagai obyek. Pendekatan ini menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami Al-Qur’an. Pendekatan ini banyak dipergunakan oleh ulama-ulama salaf dalam menafsiri Al-Qur’an dengan cara menukil hadits atau pendapat ulama yang berkaitan dengan makna lafal yang sedang dikaji.[6]
Semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri “tekstual” memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya.[7] Dengan adanya kaitan erat antara teks dan konteks, maka pembaca dan pendengar melakukan prakiraan-prakiraan, mereka membaca dan mendengarkan, dengan dugaan-dugaan tertentu tentang hal yang akan muncul kemudian.[8] Konteks selalu menyertai lahirnya sebuah teks, sedangkan pada urutannya, teks kadang kala menjadi otonom dan fungsinya berbalik menjelaskan serta memaksakan kategori-kategori normatif atas realitas sosial.  
Pada masa modern, kedua orientasi penafsiran ini (tekstual dan kontekstual) semakin berkembang. Pola tafsir yang berorientasi tekstual kemudian bermetamorfosis dengan mengambil pola berpikir tatbiq asy-syari’ah, tanpa memperhatikan realitas sosio-kultural. Pola pemikiran inilah yang kemudian berpotensi menimbulkan paham dan gerakan fundamentalisme revivalis yang cenderung reaksioner dan revolusioner dalam menghadapi perkembangan realitas.[9]Jika meminjam istilah fiqhiyah, tafsir tekstual berarti memaknai Al-Qur’an secara lahiriah yang dalam sejarah fiqh dipelopori aliran dzahiriah. Dalam memahami Al-Qur’an, aliran dzahiriah berpegang pada tiga prinsip dasar: pertama, keharusan berpegang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan yang dzahir lainnya atau dengan konsensus ijma’ yang pasti. Kedua, maksud teks yang sebenarnya terletak pada yang dzahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki syara’. Ketiga, mencari sebab di balik penetapan syari’at adalah sebuah kekeliruan.[10]
Adapun pendekatan tekstual yang dilakukan para fuqaha’ selama ini belum mencerminkan lahiriah teks yang sebenarnya, karena perspektif yang mereka gunakan masih terbatas pada perspektif bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat ‘ayniyyah, sehingga hanya menghasilkan pemahaman teks hukum yang beku dan cenderung tidak relevan dengan perkembangan zaman. Pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah menggunakan perspektif  bahwa ayat-ayat hukum adalah hududiyah, dengan pengertian bahwa Allah sebagai satu-satunya Syari’ hanya menetapkan batas-batas hukum. Perspektif hududiyah memberikan pemahaman bahwa pada kasus tertentu, Allah menentukan batasan hukum yang bersifat mutlak yang tidak boleh dilanggar. Sebagai contoh adalah hukuman maksimal bagi pencuri, bagi pelaku zina, bagi pembunuhan yang sengaja dan lain sebagainya. Pada kasus lain, Allah memberikan keluasan ijtihad bagi manusia, bahkan beberapa diantaranya (dengan syarat dan kondisi tertentu) dapat menembus sekat-sekat batasan hukum Allah. Contohnya mengenai makanan yang dilarang untuk dimakan, pada kondisi darurat kita dibolehkan untuk mengonsumsinya.[11]
Kaidah atau prinsip yang digunakan tafsir ini adalah al-ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi khusus as-sabab (ketetapan makna itu didasarkan pada universalitas (keumuman) teks, bukan pada partikularitas (kekhususan) sebab). Dalam menetapkan suatu produk penafsiran, tafsir ini lebih mengedepankan makna umum teks daripada menganalisis sebab-sebab diwahyukannya teks sebelum menetapkan suatu pemaknaan.[12] Tafsir ini dibangun di atas dua kerangkan konseptual. Pertama, memahami Al-Qur’an hanya berhenti dalam konteks kesejarahannya. Tafsir yang berorientasi tekstual ini tidak berupaya mengembangkan substansi teks ke dalam persoalan makna sekarang. Kedua, tidak mengikutsertakan fenomena-fenomena sosial ke dalam kerangka tujuan pokok diwahyukannya Al-Qur’an. Artinya, persoalan sosial masa sekarang berusaha dipecahkan oleh teks masa lalu.
Dalam madzhab fiqih, penganut tafsir ini merupakan kelompok yang sangat jarang untuk tidak mengatakan menafikan sama sekalimenggunakan ra’yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum adalah pengebirian peran ra’yu atau minimal pembatasan peran akal. Kaidah yang mereka pergunakan adalah la ra’yu fi ad-din (tidak ada tempat bagi akal dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut sebagai madzhab az-zahiri karena diprakarsai oleh Dawud az-Zahiri (w.270 H), yang kemudian dilanjutkan oleh Ibn Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya, al-Muhalla. Istilah tekstual dalam madzhab fiqih adalah mereka yang menjadikan nass (teks) baik al-Qur’an maupun hadis sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah dengan menafikan peran penafsiran manusia.
Istilah “tekstual” di sini lebih menunjuk pada sebuah paradigma berfikir, baik cara, metode maupun pendekatan yang mengacu pada teks atau makna harfiah teks. Istilah ini secara umum bisa diartikan sebagai kecenderungan suatu pandangan yang mengacu pada makna teks atau makna harfiah . Jadi, yang dimaksud dengan istilah tafsir tekstual dalam kajian ini adalah suatu kecenderungan atau metode penafsiran yang menitikberatkan pada makna teks  harfiah dengan tanpa menyertakan konteks sosio-historis teks dalam aktivitas penafsirannya: dimana, kapan, dan mengapa teks tersebut lahir, dan bagaimana proyeksi makna teks ke depan. Karena mengedepankan makna harfiah teks  di satu sisi dan menafikan peran dan keterlibatan sang penafsir di sisi lain, maka penetapan maknanya sepenuhnya menjadi domain otoritas teks. Di luar teks tidak ada makna yang bisa dipertanggungjawabkan dan diyakini kebenarannya.
Kebanyakan tafsir yang menggunakan pendekatan tekstual setidaknya dapat diberikan ciri-ciri berikut:
1.      Banyak melakukan pengkajian nahwiyah atau bacaan yang berbeda-beda (strukturalis)
2.      Melakukan pengkajian asal-usul bahasa dengan melansir syair-syair Arab (heruistik dan hermeneutik)
3.      Banyak mengandalkan cerita atau pendapat sahabat dalam menafsiri makna lafal yang sedang dikaji (riwayat)
Menurut M.Quraish Shihab, pendekatan ini mempunyai keistimewaan dan kelemahan sebagai berikut:
1.   Keistimewaannya antara lain:
a.             Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
b.            Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c.             Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan
2.      Kelemahannya antara lain :
a.             Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
b.            Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali. Sehingga, ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah masyarakat tanpa budaya.[13]

2.3  Metode Studi Al-Qur’an yang Kontekstual
Kontekstual, secara etimologis, berasal dari kata benda bahasa Inggeris “context”, yang berarti “suasana”, “keadaan” (Echols & Shadily, 1989:143). Dalam penjelasan lain disebutkan ia berarti; pertama, “bagian dari teks atau pernyataan yang meliputi kata atau bagian tertulis tertentu yang menentukan maknanya; dan kedua, situasi di mana suatu peristiwa terjadi”.[14] Kontekstual, berarti sesuatu yang berkaitan dengan atau bergantung pada konteks. Jadi, pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang didasarkan bukan hanya pada pendekatan kebahasaan, tetapi juga teks dipahami melalui situasi dan kondisi ketika teks itu muncul, dalam hal ini “wahyu”.
Namun, menurut (Gusmian, 2003:58), metode kontekstual yang masih dalam taraf memperhatikan latar sosio-historis ketika wahyu diturunkan, baru dapat disebut sebagai metode pemahaman tekstual-reflektif. Analisisnya, biasanya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Muaranya, masih bersifat kearaban, sehingga pengalaman lokal bagi seorang mufasir berada tidak menempati posisi yang signifikan atau bahkan sama sekali tidak punya peran. Baginya, metode kontekstual, adalah metode selain berorientasi pada konteks suatu teks, juga berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks Alquran.
Sejalan dengan Gusmian, Noeng Muhadjir sebagaimana dikutip Ahmad Syukri Saleh menulis, istilah kontekstual sedikitnya mengandung tiga pengertian: (1) upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional; (2) pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang; di mana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini, dan memprediksikan makna (yang dianggap relevan) di kemudian hari; dan (3) Mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan terapannya.[15]
Dengan demikian, pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang berorientasi pada latar belakang sosio-historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Selanjutnya, ditarik ke dalam konteks pembaca (penafsir) di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Jadi, pemahaman kontekstual, sifat gerakannya adalah dari bawah ke atas; dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Teks dalam pendekatan ini hanya dijadikan sebagai variabel penting dalam proses kritik sosial. Oleh karena itu, persoalannya adalah bagaimana teks wahyu hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dihayati, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial dewasa ini.
Berdasarkan keterangan di atas, terlihat bahwa pengertian pemahaman kontekstual mengalami perkembangan dari hanya melihat konteks ketika wahyu turun hingga melihat konteks sang penafsir. Bahkan perkembangan terakhir ia telah menjadi suatu “metode penafsiran yang kontemporer”. Hal ini bisa dilihat dalam klasifikasi tafsir kontemporer, yang dipilah menjadi lima metode tafsir, yaitu metode global, analitis, perbandingan, tematik, dan kontekstual [16](Saleh, 2007:45).
Kehadiran metode kontekstual ini setidaknya dipicu oleh kekhawatiran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran Alquran dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data yang penting. Dalam kaitan ini, Muhammad „Abduh (w. 1905 M), seperti dikutip Munawir Sjadzali dan Ahmad Syukri Saleh, mengingatkan agar berhati-hati dalam membaca karya-karya tafsir terdahulu, karena penulisannya berlangsung dalam suasana dan tingkat intelektual masyarakat yang belum tentu sama dengan zaman sekarang. Oleh karena itu, „Abduh menganjurkan agar mengkaji langsung pesan Alquran dan jika memungkinkan membuat karya tafsir sendiri. Namun, untuk mewujudkannya, ia harus memiliki kemampuan bahasa yang memadai, memahami sejarah nabi terutama situasi kultural masyarakat ketika Alquran diturunkan, dan menguasai sejarah umat manusia umumnya (Sjadzali dalam Baqir & Basri, 1988:121).
Dibandingkan dengan pemahaman tekstual, pemahaman kontekstual diharapkan dapat mengantarkan wahyu lebih membumi, lebih hidup, dan lebih elastis dalam rangka menjawab problema kemasyarakatan yang berubah setiap saat. Di mana perubahan realitas berjalan secara alami dan berlangsung begitu cepat sehingga ia digambarkan seperti perubahan air sungai yang terus mengalir. Maksudnya, meskipun seandainya seseorang mandi di dalam sungai yang sama, sesungguhnya air yang digunakan, bukan lagi air yang digunakan kemarin. Sekedar contoh, model tafsir yang menggunakan pemahaman kontekstual adalah tafsir “Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif al-Quran” oleh Nasaruddin Umar. Buku ini melakukan kajian kritis terhadap anggapan-anggapan yang sudah baku tentang supremasi laki-laki atas perempuan dengan menyandarkan pada dalil-dalil keagamaan, dengan melakukan “imajinasi sosio-historis” mengenai kondisi masyarakat Arab pada abad VI M., ketika Alquran diwahyukan. Teks-teks Alquran yang berkaitan dengan gender dapat disalah pahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab tersebut.
Kaum pembaharu pemikiran Islam, baik di Barat maupun di Timur cenderung memahami ajaran Islam yang tertuang dalam nash melalui pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan historis dengan memperhatikan kondisi nyata, baik sosial maupun kultural pada waktu nash diturunkan sebagai kacamata analisis untuk memahami teks sehingga relevan dengan kondisi sekarang. Hasbi mengistilahkannya dengan metode sosio-kultural-historis. Bagi Hasbi, pendekatan ini mutlak dilakukan karena dinamika masyarakat di setiap waktu dan tempat akan selalu mengalami perubahan. Jika nash dipahami secara tekstual, hanya akan menghasilkan produk hukum Islam yang beku dan tidak relevan dengan zaman.
Istilah “kontekstual” dalam hal ini sebenarnya adalah istilah baru. Bukan hanya tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi juga dalam istilah Indonesia. Gagasan ini sendiri lahir dari keprihatinan tentang penampilan tafsir Al-Qur’an selama ini, yang menurut Fazlur Rahman, sebagai penggagas tafsir kontekstual, hanya menghasilkan pemahaman yang sepotong. Hal yang menyebabkan demikian adalah kecenderungan yang umum untuk memahami Al-Qur’an secara ayat per ayat, bahkan kata per kata.  
Kata kunci yang acap kali digunakan dalam tafsir kontekstual adalah “akar kesejarahan”. Istilah kontekstual tampaknya diarahkan ke sana. Konteks yang dimaksud di sini berbeda dengan konteks yang dimaksud dalam tafsir tekstual. Yang dimaksud konteks di sini adalah situasi dan kondisi yang mengelilingi pembaca. Jadi, kontekstual berarti hal-hal yang bersifat atau berkaitan dengan konteks pembaca. Pendekatan kontekstual pada dasarnya merupakan pendekatan yang paling relevan untuk mengembangkan produk-produk nash, khususnya yang berkaitan dengan muamalah dan hukum. Hanya saja, ketika perkembangan zaman mengalami akselerasi yang tidak terkontrol (salah satunya disebabkan pengaruh hegemoni teknologi dan ilmu pengetahuan yang sering bebas nilai), maka pada saat produk hukum harus larut dan dipaksa untuk mengikuti arus perkembangan ini, niscaya akan terjadi penyimpangan besar-besaran terhadap nash.[17]
Sebenarnya hubungan teks dan konteks itu adalah bersifat dialektis: teks menciptakan konteks, persis sebagaimana konteks menciptakan teks, sedangkan makna timbul dari pergesekan keduanya. Ada dua hal yang cukup mendasar dari proses pembentukan teks, yakni proses turun (al-tanzil) sampai kepada proses interpretasi (al-ta’wil) teks.[18]
Untuk kepentingan ini, ulama Ulum al-Qur’an telah membuat kerangka historis ayat-ayat yang mempunyai sebab turun dalam ‘ilmu asbab al-nuzul, yakni ilmu yang mempelajari tentang berbagai kasus, kejadian, atau pertanyaan, yang menjadi sebab turunnya Al-Qur’an. Cikal-bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu. Sebab, sebagaimana biasanya, pemahaman ayat yang paling sempurna adalah dengan memperhatikan setting sosial yang melingkupi turunnya ayat. Ada kalanya setting sosial tersebut hanya berlaku pada masa tertentu, individu tertentu, dan di tempat tertentu.Tetapi ada kalanya berlaku sepanjang masa, pada siapa saja, dan dimana saja. Sementara itu, ayat-ayat aqidah tidak mengenal batas-batas tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila usia tafsir kontekstual setua ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl.
Jadi, dari berbagai makna di atas dapat dipahami secara sederhana bahwa tafsir kontekstual itu merupakan paradigma berfikir baik cara, metode maupun pendekatan yang berorientasi pada konteks kesejarahan. Dengan kata lain, istilah “kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah (literatur), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.[19]
Kemudian konsep tafsir kontekstual dapat dibagi dua, yaitu pertama, memahami Al-Qur’an dalam konteksnya (konteks kesejarahan dan harfiyah), lalu memproyeksikannya kepada situasi masa kini. Sedangkan kerangka konseptual kedua adalah membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan tujuan-tujuan Al-Qur’an.
1)      Memahami Al-Qur’an dalam konteksnya serta memproyeksikannya kepada situasi masa kini. Kerangka konseptual pertama ini mencakup dua langkah pokok
a)        Memahami Al-Qur’an dalam konteks, meliputi :
·     Pemilihan obyek penafsiran, yaitu satu tema atau istilah tertentu dan mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian dengan tema atau istilah tersebut dengan bantuan indeks Al-Qur’an.
·     Mengkaji tema atau istilah tersebut dalam konteks kesejarahan pra-Qur’an dan pada masa Al-Qur’an.
·     Mengkaji respon Al-Qur’an sehubungan dengan tema atau istilah itu dalam urutan kronologisnya, dengan memberikan perhatian khusus kepada konteks sastra ayat-ayat Al-Qur’an yang dirujuk, juga melibatkan asbab al-nuzul yang telah teruji keontetikannya. Dari kajian ini akan dapat disimpulkan bagaimana Al-Qur’an menangani tema atau istilah tersebut dan bagaimana keduanya berkembang di dalam Al-Qur’an.
·     Mengaitkan pembahasan tema atau istilah tersebut dengan  tema atau istilah lain yang relevan.
·     Menyimpulkan kehendak atau tujuan-tujuan Al-Qur’an sehubungan dengan tema atau istilah itu lewat kajian- kajian di atas.
·     Menafsirkan ayat-ayat spesifik yang berkaitan dengan tema atau istillah tersebut berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari kajian-kajian di atas.
b)   Memproyeksikan  pemahaman Al-Qur’an dalam konteksnya, yakni yang diperoleh lewat langkah pertama di atas, kepada situasi kekinian. Sebelum proyeksi dilakukan, kajian mengenai situasi kekinian yang berkaitan dengan tema atau istilah yang dibahas harus dilakukan terlebih dahulu.
2)      Membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan tujuan-tujuan Al-Qur’an. Kerangka konseptual ke-dua ini juga mencakup dua langkah pokok, tetapi dengan arah yang berbeda dengan kerangka konseptual yang pertama, yakni dari realitas kekinian ke dalam naungan Al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut meliputi :
a)   Mengkaji dengan cermat fenomena sosial yang dimaksud. Dalam  mengadakan kajian ini, peralatan dan perbekalan ilmuan-ilmuansosial dan kealaman mutlak dibutuhkan. Dengan kata lain, pengkajian ini melibatkan berbagai pihak dan disiplin, baik disiplin sosiologi, antropologi, maupun psikologi.
b)   Menilai dan menangani fenomena itu berdasarkan tujuan-tujuan moral Al-Qur’an yang diperoleh lewat langkah a.1.
Apabila kedua kerangka konseptual dapat dikategorikan sebagai ijtihad, maka ijtihad dalam hal ini tentunya akan berarti bahwa ”Usaha-usaha yang sungguh-sungguh untuk membumikan Al-Qur’an dan membawa fenomena-fenomena sosial kedalam naungan Al-Qur’an.[20]
Ø  Contoh Tafsir Kontekstual
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami adalah :

وَإِنْخِفْتُمْأَلاتُقْسِطُوافِيالْيَتَامَىفَانْكِحُوامَاطَابَلَكُمْمِنَالنِّسَاءِمَثْنَىوَثُلاثَوَرُبَاعَفَإِنْخِفْتُمْأَلاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةًأَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْذَلِكَأَدْنَىأَلاتَعُولُوا (٣)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[21], Maka (kawinilah) seorang saja[22], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan oleh Al-qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga.
Untuk memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran sosio-historis hendaknya dilakukan. Masalah ini muncul berkenaan dengan para gadis yatim yang dalam ayat sebelumnya disebutkan, yaitu dalam surat An-Nisa’ ayat 2 :

وَآتُواالْيَتَامَىأَمْوَالَهُمْوَلاتَتَبَدَّلُواالْخَبِيثَبِالطَّيِّبِوَلاتَأْكُلُواأَمْوَالَهُمْإِلَىأَمْوَالِكُمْإِنَّهُكَانَحُوبًاكَبِيرًا (٢)

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Ayat di atas melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Setelah penekanan  kemudian Al-Qur’an membolehkan para wali untuk mengawini mereka sampai empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh ulama dalam hal ini, yaitu : “kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian”  (QS. Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada potongan ayat 3 “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.[23]
Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya. Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami.Ia justru memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang umumnya disepakati oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang hendak dituju Al-Qur’an.[24]
Ø  Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Kontekstual
Setiap corak tafsir tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dipungkiri, karena memang itulah keterbatasan ilmu manusia yang hanya sedikit sekali ilmu yang diberikan oleh Allah bahkan digambarkan hanya setetes air yang ada di lautan, begitu juga tafsir kontekstual kelebihan dan kekurangannyaadalah sebagai berikut :
          Adapun kelebihan-kelebihan tafsir kontekstual, diantaranya:
1.      Mempertahankan semangat keuniversalan Al-Qur’an, sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman.

2.      Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Sebab metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya, tafsir hermeneutika titik penekanannya adalah kajian kata dan bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai gabungan dari metode-metode tersebut.
3.      Metode tafsir kontekstual akan membuka wawasan berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens.
Adapun kelemahan-kelemahan tafsir kontekstual, itu sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penafsir itu sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya. Diantara kelemahan tersebut adalah:
1.      Hasil penafsiran kontekstual terkadang didahului oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu penyesuaian nilai-nilai Al-Qur’an dengan kondisi masyarakat. Tentu dengan keterbukaan tersebut memancing seseorang untuk menafsirkanAl-Qur’an sesuai dengan seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya mengada-ada.
2.      Dengan semangat tafsir kontekstual terkadang melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas Allah untuk mengetahui maknanya.
3.      Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa, asbab nuzul, nasikh mansukh, dan lain sebagainya. Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan.
4.      Tafsir kontekstual memotivasi seseorang untuk cepat merasa mampu menafsirkan Al-Qur’an sekalipun syarat-syarat mufasir belum terpenuhi.
BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Setelah kami memaparkan penjelasan terkait bab tentang Metode Studi Al-Qur’an yang Tekstual dan Kontekstual, maka yang dapat kami simpulkan dari isi makalah di atas adalah sebagai berikut :
1.      Otoritas teks Al-Qur’an disusupkan kepada teks oleh akal pikiran manusia dan bukan muncul dari teks itu sendiri. Sesungguhnya yang mengelurkan makna dari teks, bukan teks semata-mata, akan tetapi proses dialektika dengan manusia sebagai objek teks. Akal pikiran manusialah dalam konteks pemaknaan ini yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks tidaklah berbicara, sehingga otoritas ini dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.
2.      Istilah “tekstual” di sini lebih menunjuk pada sebuah paradigma berfikir, baik cara, metode maupun pendekatan yang mengacu pada teks atau makna harfiah teks. Istilah ini secara umum bisa diartikan sebagai kecenderungan suatu pandangan yang mengacu pada makna teks atau makna harfiah . Jadi, yang dimaksud dengan istilah tafsir tekstual dalam kajian ini adalah suatu kecenderungan atau metode penafsiran yang menitikberatkan pada makna teks  harfiah dengan tanpa menyertakan konteks sosio-historis teks dalam aktivitas penafsirannya: dimana, kapan, dan mengapa teks tersebut lahir, dan bagaimana proyeksi makna teks ke depan. Karena mengedepankan makna harfiah teks  di satu sisi dan menafikan peran dan keterlibatan sang penafsir di sisi lain, maka penetapan maknanya sepenuhnya menjadi domain otoritas teks. Di luar teks tidak ada makna yang bisa dipertanggungjawabkan dan diyakini kebenarannya.
3.            Kata kunci yang acap kali digunakan dalam tafsir kontekstual adalah “akar kesejarahan”.Yang dimaksud konteks di sini adalah situasi dan kondisi yang mengelilingi pembaca. Jadi, kontekstual berarti hal-hal yang bersifat atau berkaitan dengan konteks pembaca. Pendekatan kontekstual pada dasarnya merupakan pendekatan yang paling relevan untuk mengembangkan produk-produk nash, khususnya yang berkaitan dengan muamalah dan hukum. Cikal-bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu. Sebab, sebagaimana biasanya, pemahaman ayat yang paling sempurna adalah dengan memperhatikan setting sosial yang melingkupi turunnya ayat.Dengan kata lain, istilah “kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah (literatur), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.

3.2     Saran
Demikian penyusunan makalah ini kami buat. Harapan kami dengan adanya tugas ini dapat menambah wawasan kami dan dapat bermanfaat oleh para pembaca, khusunya kelompok kami sendiri. Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca serta dosen yang telah membimbing kami. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.



[1] Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan (Nasr Hamid Abu Zaid), (Jogjakarta : Elsaq press, 2003), hal.99
[2] Sahiron Syamsudin, dkk, Hermenutika Al Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta : 2003), hal.90
[3] Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan (Nasr Hamid Abu Zaid), (Jogjakarta : Elsaq press, 2003), hal.99
[4] Sahiron Syamsudin, dkk, Hermenutika Al Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta : 2003), hal.89
[5] Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan (Nasr Hamid Abu Zaid), (Jogjakarta : Elsaq press, 2003), hal.100
[6]MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Quran, (Malang : UIN Press, 2008), hal.51
[7]Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan (Nasr Hamid Abu Zaid), (Jogjakarta : Elsaq press, 2003), hal.116
[8] Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan (Nasr Hamid Abu Zaid), (Jogjakarta : Elsaq press, 2003), hal.117
[9]Dr. H. U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hal.36
[10]“TOT PSQ dan STAIN Surakarta, Pola Interaksi dengan Al-Qur’an dan Sunnah”, Solo, 2008
[11]Sahiron Syamsudin, dkk, Hermenutika Al Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta : 2003), hal.171-172
[12]Dr. H. U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hal.37
[13]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1997), 87.
[14] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Edisi II, hlm. 458.

[15] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), Edisi IV, hlm. 263-264.
[16] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada press, 2007), hlm. 58.

[17]Sahiron Syamsudin, dkk, Hermenutika Al Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta : 2003), hal.169-170
[18]Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan (Nasr Hamid Abu Zaid), (Jogjakarta : Elsaq press, 2003), hal.102
[19]Ibid,. H. 48
[20]Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 63-64
[21]Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[22]Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini     poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[23]Sibawaih, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman,hal. 76
[24]Ibid,. H. 77
 

4 komentar:

Unknown said...

alhamdulilah....

Unknown said...

tolong di cek dulu ayatnya,

Unknown said...

thank u yaa

Unknown said...

terimakasih kembali

Post a Comment